Selasa, 23 Desember 2008

Apakah kebohongan merupakan fakta sosial dalam hidup sehari-hari?

Maaf kepada Anda yang moralis dan percaya bahwa kebohongan adalah penyimpangan berat dalam hidup manusia, karena ternyata kebohongan adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari. Bohong sama sekali bukan peristiwa yang luar biasa atau langka. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwasanya dalam seminggu seseorang melakukan kebohongan antara 0 atau tidak sama sekali, sampai 46 kali kebohongan. Artinya ada orang yang melakukan kebohongan rata-rata sampai 6 kali dalam sehari.

Penelitian itu juga menemukan bahwa masyarakat umumnya melakukan kebohongan minimal 1 kali dalam satu hari interaksi dengan orang lain. Mahasiswa melakukan rata-rata 2 kebohongan setiap hari. Mereka berbohong 1 kali dalam setiap 3 kali interaksi. Artinya sepertiga interaksi yang dilakukan mengandung kebohongan. Luar biasa bukan?!

Tentunya ada alasan mengapa bohong secara masif dilakukan, bahkan oleh semua kelompok umur. Satu yang pasti adalah karena bohong menguntungkan, baik bagi pelakunya maupun bagi kehidupan sosial. Keuntungan bagi pelaku kebohongan sangat jelas, entah itu untuk keuntungan psikis maupun keuntungan material. Dalam interaksi sosial, bohong menjadi sarana bagi seseorang untuk melakukan manajemen kesan, mengatur emosi, dan memberikan dukungan sosial. Lalu apa keuntungan bagi kehidupan sosial?

Kebohongan dalam masyarakat rupa-rupanya menjaga terciptanya lingkungan sosial yang erat. Bohong merupakan perantara bagi banyak orang untuk menunjukkan dukungan sosial kepada yang lainnya. Pada saat kesusahan, berbagai basa basi menunjukkan perhatian dan keprihatinan, yang tentunya banyak mengandung kebohongan, diucapkan. Tidak lain untuk menunjukkan adanya saling dukung dalam masyarakat. Dan semua orang mahfum belaka adanya kebohongan itu.

Bohong juga dilakukan untuk menciptakan keteraturan dan menjamin bahwa tata krama dalam masyarakat diterapkan. Bayangkan, jika seseorang selalu mengatakan apa adanya pendapat pribadinya pada orang lain, maka yang ada hanyalah geger sosial. Apa mungkin Anda mengatakan jelek anak tetangga Anda yang memang jelek, di depan orangtuanya? Lha, kalau mengatakan begitu Anda bakal tidak punya teman. Semua tetangga bakal menghindari Anda.

Keramahtamahan jangan-jangan juga sering dihiasi ketidakjujuran. Mempersilakan mampir seseorang, padahal hati tidak ingin orang itu mampir, hal biasa bukan? Tapi toh setiap orang telah mahfum, bahwa ramah-tamah semacam itu, tidaklah bermaksud sungguhan, sehingga ya menolak. Jikalau menerima tawaran untuk mampir, malah mungkin dianggap kurang ajar.

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free Ebook