Rabu, 24 Desember 2008

Bagaimana Seorang Profesianal

Kini adalah zaman profesional. Memasuki abad ke-21 yang dicirikan oleh budaya global yang penuh kompetisi dan perubahan serba cepat, tidak terbayangkan lagi ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bukan sekedar profesionalisme tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class profesionalism, yang memampukan kita hidup sejajar dan bermitra dengan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.

Kaum profesional dari pelbagai disiplin sekarang sudah merambah seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas kebangsaan dan kenegaraan tidak lagi relevan. Mereka bisa bekerja di mana saja. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka bumi.
Bangsa kita juga memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mampu berperan mengisi pembangunan masyarakat di segala bidang. Jika kita tidak mampu menyediakan kaum profesional ini dalam jumlah yang cukup maka terpaksa kita harus mengimpor mereka dengan harga yang sangat mahal.

Padahal Indonesia juga berpotensi mengekspor tenaga-tenaga profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara. Namun untuk sampai di sana masih diperlukan usaha besar. Dan salah satu hal yang perlu dikembangkan ialah memasyarakatkan sikap dan mentalitas profesional. Dan pada pasal ini saya ingin membahas pengertian dan konsep profesional. Ini penting mengingat kata profesional sudah terlalu populer sehingga - seperti apa pun yang terlalu populer - cenderung mengalami pendangkalan arti bahkan penyimpangan makna.

1. Mentalitas Mutu Terbaik

Seorang profesional bertekad menampilkan kinerja terbaik yang mungkin ditampilkannya. Dengan sengaja dia tidak akan mau menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tindakan itu adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional, dengan demikian, mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan riil, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal keindahan, kesempurnaan dan kebaikan. Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah standar kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal kesempurnaan.
Dengan ini jelas bahwa profesionalisme tidak selalu identik dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka seorang pengukir di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak lulus SD, tetapi mengukir dengan segenap hati sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya adalah seorang profesional. Seorang guru SD di pulau terpencil yang mengajar dengan segenap dedikasi untuk kebaikan murid-muridnya adalah seorang profesional.

Di pihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya secara terburu-buru karena mengejar jumlah pasien banyak bukanlah seorang profesional. Demikian pula seorang guru besar yang mengajar asal-asalan, meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai mengorbankan kualitas, bukanlah seorang profesional. Atau seorang insinyur yang dengan sengaja mengurangi bahan bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah seorang profesional.

2. Mentalitas Baik Hati

Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi masyarakat. Secara umum profesi seperti guru, dokter atau pengacara memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Taat asas dengan pengertian ini, tidak mungkin ada pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau metoda membunuhnya memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum profesional adalah kerancuan pemakaian istilah. Seorang profesional memang tinggi mutu kerjanya secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat dan didorong oleh kebaikan hati.

Di pihak lain, karena kualitas kerjanya sedemikian tinggi, berbasiskan kompetensi teknis yang tinggi, masyarakat menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula. Inilah sebab mengapa imbalan jasa bagi kaum profesional selalu tinggi. Jasa mereka amat dibutuhkan masyarakat --permintaan atasnya selalu lebih tinggi dari ketersediaan yang biasanya terbatas-- mengakibatkan imbalan kerja seorang profesional memang menjadi mahal. Oleh karena itu, status sosial seorang profesional dari segi moneter, umumnya berada di lapisan tengah ke atas. Ini bukan karena sang profesional menuntut untuk didudukkan di kelas tersebut, tetapi terjadi sebagai akibat logis dari eksistensi profesionalnya.

3. Mentalitas Melayani Secara Altruistik

Seorang pekerja profesional, tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli sekitarnya. Ia tidak melakukan onani profesi. Akan tetapi pekerja profesional memiliki konstituen yang jelas, terutama pemakai jasa profesionalnya. Sorang maestro sekelas Michelangelo pun tetap mempunyai pelanggan, yakni Paus, yang keinginannya harus dipuaskan.
Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini ia kemudian dituntut untuk selalu berada dalam posisi tawar-menawar yang rasional dengan para pelanggannya. Itu berarti seorang profesional dituntut untuk bisa memuaskan pelanggannya sebaik-baiknya. Dan dia diharapkan melakukannya secara konsisten, dengan segenap ketulusan hati, sebagai apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang karir profesionalnya.

Untuk mampu melakukannya, seorang pekerja profesional perlu menghayati pekerjaannya sebagai sebuah kebajikan dan kemuliaan, bukan sekedar lapangan kerja. Penghayatan ini mendorongnya untuk mengabdi secara tulus pada nilai-nilai profesinya secara total dengan menunjukkan sikap altruistik (berkorban demi sebuah idealisme atau kebajikan). Maka ciri ketiga seorang pekerja profesional adalah sikap pelayanan yang altruistik kepada pelanggan dan nilai-nilai profesinya.

4. Mentalitas Belajar Secara Kontinual

Pemain profesional, sebelum terjun full time, terlebih dahulu telah menerima pendidikan dan pelatihan mendalam, dan sepanjang karir-nya kemudian juga terus-menerus mengenyam pendalaman-pendalaman dan latihan-latihan tiada henti; sedangkan pemain amatir merasa cukup berlatih sekadarnya sesuai kecukupan waktu yang tersedia.
Seorang pekerja profesional adalah seorang yang telah mendapat pen-didikan dan pelatihan khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi tertentu yang sudah mapan, sebelum sesorang menyandang status profesional, dia harus melalui ujian lebih dahulu guna mendapatkan ser-tifikasi profesional dari asosiasi profesinya.
Kompetensi tinggi memang tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang ketat. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin tinggi, maka tak pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup menjadi budaya kaum profesional. Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional semakin lama semakin tidak relevan, bahkan bisa out of touch dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja gagal menjadi profesional.

5. Mentalitas Artistik

Pemain profesional mengabdikan hidupnya secara total kepada olahraga yang dipilihnya. Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar salah satu bidang kerja yang akan ditekuninya sebagai profesi. Pemilihan ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut.
Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya dalam bidang tersebut yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Kemudian berkembanglah sebuah hubungan cinta yang dinamik antara sang pekerja dengan pekerjaannya.
Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka mengenal, rasa cinta makin kental, sehingga akhirnya mereka mengokohkan hubungan itu secara marital. Demikian juga sang profesional, semakin ia menekuni profesinya makin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul, ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas, dan menyatu dalam sebuah ikatan kekal.

Seorang pemain profesional menguasai seni bermain. Baginya permainan tidak hanya soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jagoan menjadi seorang maestro, seperti Rudy Hartono di bulutangkis. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai teknik-teknik dasar sudah memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.
Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis tinggi di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni bahkan filosofis. Dia akan menemukan unsur seni yang artistik dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati keindahan dalam profesinya. Perspektifnya terbuka melihat kekayaan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan membangkitkan kegairahan bagi sang profesional yang sekaligus membuatnya menjadi manusia kreatif dan inovatif.

Namun perspektif hanya dimiliki oleh orang yang berdiri di ketinggian. Sekali lagi hal ini menegaskan bahwa menjadi profesional adalah sebuah perjalanan mendaki, ke level yang lebih tinggi lagi, menuju ketinggian tertinggi, jika mungkin.

6. Mentalitas Kesetiaan

Karena panggilan olahraga profesional menuntut pengabdian total, maka seorang pemain profesional memilih bidangnya secara sadar dan menanggung semua konsekuensi pilihan itu, misalnya harus meninggalkan keluarga atau berhenti studi; sedangkan pemain amatir meman-dangnya sebagai hobi atau kegemaran.
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan bidang profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Bidang profesi apa pun pada dasarnya, selalu menekuni dan menggulati sebuah wacana khusus yang kental dengan dimensi moral, khususnya tentang kebenaran, kebaikan dan keadilan.

Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika profesi dasar ini. Dia tidak akan mengorbankan prinsip moral profesinya demi uang atau kekuasaan misalnya. Itulah sebabnya penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran intelektual yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional.

Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang dan kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.
Jadi tampaklah bahwa proses menjadi profesional sangat berat. Tanpa motivasi ekstra, stamina tinggi dan konstan, seseorang tidak mungkin menjadi profesional sejati. Tetapi daya tarik sebagai profesional juga amat tinggi.

Salah satu pertanyaan penting dalam proses ini adalah, darimanakah seorang profesional mendapatkan motivasinya, sehingga ia dapat bertahan dalam arena profesional itu? Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional berkelimpahan dengan uang. Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng (bell shaped curve), maksudnya uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang tersebut diperoleh, tingkat motivasinya akan turun kembali; mendaki mencapai puncak kurva lonceng lalu menurun menuju dasar kurva.

Motivasi seorang profesional sejati ternyata selalu berasal dari ruang moral-spiritual. Dari ruang ini dapat digali pelbagai macam motivasi super seperti demi negara, demi bangsa, demi keharuman nama keluarga, demi pengembangan diri menuju puncak pendakian moral-spiritual, demi kekasih hati, demi keindahan, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi kemajuan peradaban dan sebagainya. Bentuk-bentuk motivasi non-material ini misalnya adalah cinta, pengabdian, panggilan, dan kehormatan.Motivasi superior inilah yang mampu mendukung stamina jangka panjang seorang profesional dalam bentuk energi psiko-spiritual.

Dalam dunia modern dewasa ini, di mana kompetisi antarmanusia, antarorganisasi, antarperusahaan dan antarbangsa telah menjadi norma, maka profesionalisme di segala bidang kehidupan menjadi tiket masuk ke arena pertandingan peradaban. Tanpa profesionalisme kita cuma jadi penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar.
Dan hebatnya, tidak ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya setiap orang harus menjadi profesional. Setiap perusahaan, partai politik, atau organisasi apa pun harus menjadi profesional. Bahkan setiap negara akhirnya harus berkelakuan profesional terhadap konstituennya termasuk dalam pergaulan antarbangsa.

Jika saya intisarikan, ciri-ciri manusia profesional tersebut memiliki ciri sebagai berikut:

o. Sikap Selalu Memberi yang Terbaik;
o. Orientasi Memuaskan Pelanggan/Konstituen;
o. Sikap Kerja Penuh Antusiasme dan Vitalitas;
o. Budaya Belajar Sepanjang Hayat;
o. Sikap Pengabdian Pada Nilai-nilai Profesi;
o. Hubungan Cinta dengan Profesinya;
o. Sikap Melayani yang Altruistik;
o. Kompetensi Tinggi Berorientasi Kesempurnaan

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Free Ebook